Cintai Pelanggan Dengan Label Halal



Sekarang ini persoalan label halal sedang ramai di Indonesia, baik di social media maupun media cetak. Apalagi majalah Tempo, yang jangkauannya sangat luas di Indonesia, membahas tentang label halal menjadi topik utama. Karena hal tersebut membuat banyak orang yang mempertanyakan tentang label halal ini. Apakah harus tetap menggunakan label halal, atau diganti dengan label haram? 

Memang dalam kaidah fiqh ada hukum, semua makanan (sesuatu) itu halal, kecuali yang sudah tampak jelas bukti-bukti keharamannya. Dari hukum tersebut, ada beberapa pendapat ulama bahkan orang awam yang menyatakan kalau label halal tersebut tidak sesuai dengan kaidah fiqh. Maka yang digunakan harusnya label haram.

Tapi apakah ada pebisnis atau merek yang mau diberi label haram? Itu sama artinya dengan jangan dibeli, bisa jadi tidak laku produk tersebut. Terlepas dari perdebatan itu semua, labelisasi produk makanan haruslah dilakukan oleh produsen makanan. Apalagi memang mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang tidak boleh memakan makanan haram.

Pelabelan tersebut harusnya dipahami sebagai upaya merek untuk mencintai pelanggan. Label halal pun memang muncul karena maksud komersil, yaitu untuk merek makanan agar lebih dipercaya. Merek mencintai pelanggan sehingga tidak mau pelanggan memakan makanan yang tidak halal. Merek tidak mau pelanggan merasa ragu-ragu, halal atau tidak ya makanan ini, ketika ingin membeli.

Merek yang mencintai pelanggan akan rela mengorbankan sedikit dana untuk mendapatkan sertifikasi halal yang membuat pelanggan menjadi tenang. Tentunya mendapatkan dengan cara yang benar. Jika merek mendapatkan sertifikasi halal dengan cara yang salah, menipu-nipu pemeriksa atau bahkan melakukan kecurangan, berarti merek tidak mencintai pelanggan.


Merek tersebut tidak memperdulikan pelanggan, yang mereka perdulikan hanya mengeruk sebanyak-banyaknya uang dari pelanggan. Bagaimana pun caranya, menipu pelanggan jika perlu. Kasihan pelanggan, sudah membeli tapi malah ditipu.

Kita harus jujur dalam berbisnis. Mungkin, memang bisa mendapatkan keuntungan saat tidak jujur, menipu pelanggan. Tapi apakah akan selamanya? Apakah bisnis bisa berlanjut bila dibangun dengan ketidakjujuran? Saya rasa sih tidak.

Perusahaan sebesar dan selama Lehman Brothers bisa kita jadikan pelajaran. Ketidakjujuran Lehman Brothers dalam membuat laporan keuangannya, membuat mereka menjadi bangkrut dan reputasi perusahaan menjadi tercoreng.

"JUJUR adalah Diferensiasi paling kuat di era sekarang", kata Hermawan Kartajaya, atau kata Aa Gym. "Bisnis itu harus jujur dulu. Profit itu adalah bonusnya". Jika pebisnis sudah tidak takut dosanya menipu, takutlah dengan ditinggal oleh para pelanggan karena merasa tertipu oleh Anda. Rugikan? 

Hak Cipta oleh Media Medan
Official Media Medan