Pada
zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya
berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan
ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli,
Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei
Sulang Saling/Sei Kera. DAN SEI DELI.
Sejarah
awal Kota Medan
Pada
mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus merga Sembiring Pelawi,
lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu
merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama
kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya
kurang popular.
Dahulu
orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke
Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu
wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah di antara kedua sungai tersebut.
Secara
keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir,
tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan
penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens
tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis
tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda
ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang
membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada
zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai
curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan
Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan
Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara
rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata
4,4 mm/jam.
Menurut
Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini
terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang
berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda
mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli.
Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat
pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada
awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan
Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari
posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai
Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada
zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga
dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota
Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin
lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus
yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki
dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai
dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian
lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada
zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini
terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Al-Qur'an
kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan
yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad
Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord en Beeld ditulis oleh N. ten
Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini
merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis
berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai
Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak di seberang sungai dari
kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di
Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX
Tembakau Deli yang sekarang ini.
Penaklukan Aceh
Sekitar
tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda
yang berkuasa di Kesultanan Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan
yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili
kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai
Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan
kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan
Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota
Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan
tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah
Pahlawan kawin dengan Nangaluan Beru Surbakti yang merupakan putri Datuk
Sunggal bergelar Sri Indra Baiduzzaman Surbakti dimana setelah terjadi
perkawinan ini raja-raja urung di kuta Medan menyerah pada Gocah Pahlawan,
dimana urung-urung ini tetap merdeka dengan kata lain tidak membayar upeti
kepada raja Deli.
Gocah
Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima
Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari
Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km
dari Medan.
Masa Belanda
Belanda
yang menjajah Nusantara kurang lebih tiga setengah abad namun untuk menguasai
Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka
mengalami perang di Jawa dengan Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830.
Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera,
Belanda juga berperang melawan Iskandar MudaAceh, Kisar Bangun si Gara mata di
tanah Karo dan Aceh, Imam Bonjol di Minangkabau, dan Raja Sisingamangaraja XII
di daerah Tapanuli.
Jadi
untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun
1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal
Belanda Johannes van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia
memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25
tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti di tengah jalan karena
Menteri Jajahan Belanda waktu itu Jean Chrétien Baud menyuruh mundur pasukan
Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal
dengan nama Perang Paderi (1821-1837).
Sultan
Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris
dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya
terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu
terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kesultanan Siak Sri
Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858
Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah
taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di
Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk
kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi
kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada
tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak
itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di
kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela
Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah
taklukan Kesultanan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan
Putri.
Perkebunan
Tembakau
Medan
tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika
penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau.
Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda
memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya
berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama
Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli.
Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000
Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh
tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya.
Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu.
Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.
Seperti
yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar dalam bukunya, dijelaskan bahwa
"kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan
dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia, dimana disebutkan dalam catatan
berbahasa Belanda bahwa “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas
serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli”
Pesatnya
perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari
perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang
merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan
Deli memberikan kepada Jacob Nienhuys, Van der Falk dan Elliot dari Firma Van
Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara
erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli.
Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji
kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi
untuk pembungkus cerutu.
Perjanjian
tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua
tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan
De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869,
Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan.
Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II
(eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat
menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah
yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya
perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur
dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka
perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai
Beras dan Klumpang pada tahun 1875.
Kemudian
pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli
Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah
Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya
mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan
perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys
memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan
Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin
ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai
"Kota Medan".
Perkembangan
Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat
pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan
ke Medan, 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari
Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari
(Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal
18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada
tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi
Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja)
dengan Walikota Baron Daniel Mackay. Berdasarkan "Acte van Schenking"
(Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918,
Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi
menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal
Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan,
Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pada
tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa
409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139
orang.
Sejak
itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa
di antaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919),
sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919),
Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang
(1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar,
R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara
historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat
perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai
ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat
pemerintah. sampai saat ini di samping merupakan salah satu daerah kota, juga
sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
Masa Penjajahan Jepang
Tahun
1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat
dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera
Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara
Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di
Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapura, tepatnya mereka mendarat
tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan
ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura.
Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat
Peureulak, Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan
tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota
Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat di sekitarnya secara
barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka
adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut
kedatangannya.
Ketika
peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi
mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan
ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang
bernama Kempetai (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan
keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda
disebut gemeentebestuur oleh Jepang diubah menjadi Medan Sico (Pemerintahan
Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan
ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat
keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan
yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan
Gunseibu.
Penguasaan
Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa,
karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai
seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Di sebelah
Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis
pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari
lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur
Jepang.
Masa
Kemerdekaan
Dimana-mana
di seluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian
juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai
macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota
Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu
berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.
Khususnya
di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya
segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan
pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk
merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka
bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan
pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di
Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Ia
juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga
status quo sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar
anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa
bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang
saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam
coklat di tengah kota.
Beberapa
tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya.
Terutama bekas perwira Gyu Gun di antaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu
kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang
famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia
Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung
Pemuda sekarang).
Tanggal
17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak
tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana
sekali. Kantor Berita Jepang “Domei" sudah ada perwakilannya di Medan
namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya
masyarakat tambah bingung.
Sekelompok
kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I
Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang
Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan
dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling
didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest
berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang
anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.
Akhirnya
dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar
bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota
Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum
Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir,
Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.
1990-an
dan 2000-an
Pada
tahun 1998, dari 1 hingga 12 Mei, Medan dilanda kerusuhan besar yang menjadi
titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang
Indonesia, termasuk Peristiwa Mei 1998 di Jakarta seminggu kemudian. Dalam
kerusuhan yang terkait dengan gerakan "Reformasi" ini, terjadi
pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat
keamanan.
Pada
durasi Tragedi Trisakti hingga Kerusuhan Mei 1998 selama pada tanggl 12 Mei
hingga sekarang karena tidak dapat bekerja kantor dan pendidikan lagi waktunya
menjelang libur umum semasa pada tidak terbit dari media massa, Sementara
Bandar Udara Internasional Polonia dari seluruh dibuka selama 24-jam setiap
hari, Pada tanggal 21 Mei tepat pada pukul 02:00 WIB sebagai libur umum besar
sudah upacara penutup telah berhenti bandar udara dari semuanya berkumpul
pindah ke Kuala Lumpur (adalah ibu kota negara Malaysia) yang tidak kembali
tempat tinggal lagi dan bandar udara ke dari pesawat terbang milik penerbangan
Malaysia Airlines Penerbangan Airbus A330 tiba ke Bandar Udara Internasional
Kuala Lumpur (dulu Bandar Udara Sultan Abdul Aziz Shah) dari kawasan Subang
Jaya, Kota Petaling, Negara Bagan Selangor, Daerah Semenanjung Malaysia, Negara
Malaysia.
Saat
ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan sarana dan prasarana umum
gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan yang rusak, berlobang masih ada,
namun jika dibandingkan dahulu, sudah sangat menurun.[butuh rujukan] Kendala
klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan akibat jumlah
kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan, tidak mampu diimbangi
dengan peningkatan sarana jalan yang memadai.
Sumber : www.wikipedia.org